Membaca Panjang Harakat
Mad Wajib Muttashil panjangnya 4 atau 5 harakat. Mad lazim panjangnya 6 harakat. Tapi, bagaimana cara mengukur jumlah harakat tersebut? Ada beberapa metode yang paling umum digunakan seperti menggunakan gerak jari, ketukan dan perasaan. Pada artikel ini kita akan belajar bagaimana cara mengukur panjang harakat yang benar.
Mengukur Harakat dengan Gerak Jari?
Ada yang mengukur jumlah harakat dengan menggerak-gerakkan jari. Ada gerakan jari membuka: yaitu tangan menggenggam, kemudia jari dibuka satu persatu. Satu bukaan jari dianggap satu harakat. Berarti untuk mengukur 4 harakat misalnya, maka bacaan panjang dibaca selama durasi waktu membuka empat jari. Masalahnya kalau enam harakat, maka ia harus melibatkan tangan yang sebelahnya lagi.
Ada juga gerakan jari menutup. Jika mad wajib 4 harakat misalnya, maka bacaan panjang dibaca selama rentang waktu menutup empat jari. Saya pernah melihat ada anak-anak yang mempraktekkan ini ketika membaca Mad Wajib atau Mad Jaiz, maka ia pun menutup jarinya, dimulai dari jari kelingking, jari manis, jari tengah dan telunjuk, ia menutupnya dengan agak memutar, sehingga tanpak seperti menari. Jadi sambil mengaji sambil memutar-mutarkan jarinya.
Pertanyaannya, bagaimana akurasi mengukur harakat dengan cara seperti ini?
Cara mengukur harakat seperti ini memang menjadi metode ajar oleh sebagian pengajar tajwid. Dan mengukur harakat seperti ini juga bisa diamalkan saat belajar. Namun saat praktek membaca Al-Qur’an, tidak mungkin seseorang mengaji dengan menggerak-gerakkan tangannya, apalagi gerak memutar seperti menari tadi, tentu kita tidak pernah melihatnya. Apalagi jika dipraktekkan saat membaca Al-Qur’an dalam shalat: tidak mungkin mengukur Mad Lazim pada akhir al-Fatihah dengan menggerakkan enam jari, karena ini membuat shalatnya batal.
Selain itu, kecepatan menggerakkan jari ini juga diukur dengan perasaan. Karena jari itu bisa digerakkan dengan cepat dan bisa digerakkan dengan lambat. Bacaan Al-Qur’an juga bisa dibaca dengan cepat dan bisa dibaca dengan lambat. Jadi, kecepatan baca Al-Qur’an ia ukur dengan perasaan dan kecepatan menggerakkan jari juga ia ukur dengan perasaan. Maka, yang mengukur panjang bacaan dengan menggerakkan jari hakikatnya ia telah mengukur dengan perasaan dua kali. Dan ini tentu lebih memberatkan.
Mengukur Harakat dengan Ketukan?
Logika pada gerakan jari juga berlaku pada mengukur panjang bacaan dengan ketukan. Yaitu, pertama, bisa diamalkan dalam belajar dan tidak mungkin diamalkan saat praktek. Sehingga, saat praktek yang menjadi alat ukur panjang adalah perasaan. Tidak mungkin seseorang membaca Al-Qur’an sambil mengetuk-ngetukkan tangannya. Dan mengetuk-ngetuk tangan saat membaca Al-Qur’an dalam shalat bisa membatalkan shalat.
Kedua, mengukur dengan mengetuk membuat seseorang mengukur panjang bacaan dengan perasaan dua kali, yaitu ia gunakan perasaan dalam mengukur kecepatan bacaan dan menggunakan perasaan dalam mengukur kecepatan ketukan. Adapun mengukur panjang bacaan dengan perasaan saja, maka ini lebih ringan dan lebih mudah.
Mengukur harakat dengan perasaan?
Caran yang benar adalah dengan menggunakan perasaan yang dilatih dihadapan guru mengaji.
Pertanyaannya, apakah mengukur panjang mad dengan perasaan itu bisa akurat? Maka jawabannya adalah bisa, yaitu jika perasaan itu telah terlatih. Jika belum terlatih, maka akurasinya bisa bermasalah.
Contoh perasaan yang belum terlatih adalah, orang yang baru bisa membawa mobil yang menabrak pagar rumah tetangga. Ketika ia parkir mobil, perasaanya tidak menabrak pagar rumah tetangga, tapi nyatanya ada tabrakan. Pagar rumah tetangga aman, mobilnya yang penyot.
Adapun contoh perasaan yang telah terlatih adalah, orang yang sudah bisa membawa mobil. Ia tidak melihat posisi ban dan jalan, tapi ia bisa merasakannya, dan perasaan itu adalah akurat. Ia bisa memarkir mobil dengan akurat dan ia bisa mengemudi mobil dengan kencang dengan akurat tanpa kendala.
Contoh lain yang menunjukkan bahwa mengukur dengan perasaan itu bisa akurat jika dilatih adalah: para juru masak yang handal. Misalnya juru masak mie Aceh, ketika ia menaruh garam dan bumbu lainnya, ia menakarnya dengan sendok dengan sangat cepat, gerebam, gerebum, gerebam, gerebum… selesai dan rasanya mantap. Tidak perlu dirasa-rasa lagi. Sudah pasti pas. Tidak perlu diukur lagi, “garam sekian ratus miligram…”, tidak perlu. Jika ada yang masak mie Aceh, tapi setelah masak ia masih merasa-rasanya lagi, maka ini bisa ditebak “baru belajar”. Apalagi ada yang merasa dengan meletakkan mie ke atas tangannya, kemudian baru dimakan, ini tentu pemandangan yang kurang elok.
Begitu juga kira-kira dalam mengukur jumlah harakat dalam membaca Al-Qur’an. Jika perasaan dalam mengukur panjang dilatih, maka insyaAllah panjang bacaan bisa akurat dan tepat. Dan untuk melatih perasaan dalam mengukur panjang adalah dengan membacanya dihadapan guru, atau talaqqi musyafahah. Jika guru mengatakan, “Kurang panjang,” maka kita tambah lagi. Jika guru mengatakan, “Terlalu panjang,” maka kita kurangi lagi. Jika guru kata, “Cukup,” atau ketika kita membaca panjang sementara guru tidak menyalahkannya, maka segitulah panjangnya. Panjang seperti itu terus kita amalkan secara konsisten sehingga menjadi ukuran yang stabil dan tidak berubah.
Antara Bacaan Cepat dan Lambat, Samakah Jumlah Harakatnya?
Jawabannya adalah sama. Namun sebelum menjawabnya sedara detail, maka kita jelaskan terlebih dahulu tiga jenis kecepatan bacaan dalam membaca Al-Qur’an.
Jika ada seribu jenis warna hijau, maka dari seribu warna tersebut mata kita bisa menyimpulkan tiga jenis warna hijau, yaitu hijau sekali, sedang dan kurang hijau. Begitu juga kira-kira dalam mendengar kecepatan bacaan Al-Qur’an. Karena kecepatan membaca Al-Qur’an itu sangat beragam, maka dari seluruh ragam itu kita bisa menyimpukan tiga kecepatan, yaitu cepat, sedang dan lambat. Bacaan cepat disebut dengan al-Hadr. Bacaan sedang disebut dengan at-Tadwir dan bacaan lambat disebut dengan at-Tahqiq.
Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Imam Ibnul Jazari dalam kitab Matan Thayyibatun Nasyr:
ويقرأ القران بالتحقيق مع حدر وتدوير وكل متبع
مع حسن صوت بلحون العرب مرتلا مجودا بالعربي
Artinya, “Dan Al-Qur’an itu dibaca dengan at-Tahqiq, hadr dan tadwir. Dan semua itu adalah hal yang diikuti. Dengan suara yang bagus dan lahjah orang Arab. Secara tartil, mujawwad sesuai dengan bahasa Arab.”
Maka, dari tiga jenis kecepatan ini, misalnya mad lazim 6 harakat, maka pertanyaannya, apakah 6 harakat pada bacaan taqiq sama dengan bacaan tadwir atau sama dengan bacaan hadr?
Sebagian orang ragu-ragu menjawab ini. Setelah berpikir dan merasa-rasa, akhirnya ia menjawab tidak sama. Yaitu, 6 harakat pada tahqiq tidak sama dengan 6 harakat pada hadr. Dan ini adalah jawaban yang salah.
Jawaban yang benar adalah, bacaan 6 harakat itu sama pada seluruh jenis kecepatan bacaan. Pada bacaan tahqiq, mad lazim 6 harakat. Pada bacaan tadwir mad lazim 6 harakat dan pada bacaan hadr mad lazim juga 6 harakat juga. Jadi, baik bacaan cepat atau lambat maka jumlah harakatnya adalah tetap sama.
Hanya saja, 6 harakat pada bacaan lambat tentu lebih lama dari 6 harakat pada bacaan cepat. Tapi jumlah harakat tetap sama, yaitu sama-sama enam harakat. Jika jumlah harakatnya berbeda maka bacaannya salah.
Baca juga: Cara Membaca AMIN Yang Benar
Analogi kecepatan bacaan dengan jumlah harakat ini adalah bagaikan batu bata panjang dengan batu bata pendek. Ada batu bata panjang diletakkan secara berbaris enam buah, kemudian batu bata pendek diletakkan secara berbaris enam buah, maka tampak batu panjang yang enam itu lebih panjang dari pada enam batu bata pendek. Akan tetapi, jumlah batu bata sama-sama enam. Batu bata panjang ibarat bacaan lambat, batu bata pendek ibarat bacaan cepat, dan sama-sama enam batu bata ibarat sama-sama enam harakat.
Analogi lainnya adalah mengetuk mejak. Jika saya mengetuk meja secara lambat enam kali, tentu terasa lama. Sebaliknya, jika saya mengetuk meja secara cepat enam kali, tentu terasa cepat. Akan tetapi, baik ketukan lambat yang terasa lama maupun ketukan cepat yang terasa singkat, namun keduanya sama-sama enam harakat. Jadi, bacaan cepat atau lambat, jumlah harakatnya harus sama, tidak boleh berbeda. []
Penulis: Muhammad Yasin Jumadi, Lc.
Anggota Tim Tahsin IKAT Aceh